Red-XcodeZ

Sunday, 23 April 2017

Waduk Bajulmati, Wisata Baru di Banyuwangi

Potretan saat di tempat atas
Banyuwangi - Melihat pulau-pulau bukit kecil dikelilingi air, sepintas mirip Wayag di Raja Ampat. Padahal, ini adalah Waduk Bajulmati di Banyuwangi. Ayo ke sana akhir pekan ini.

Jika melihat foto di atas, mungkin traveler menyangka jika itu adalah Raja Ampat, Papua Barat. Bukan! Itu adalah salah satu lokasi genangan air di Waduk Bajulmati, Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi.

Lokasi ini merupakan spot selfie favorit bagi wisatawan yang ingin melihat waduk yang baru rampung ini. Bukit-bukit yang tergenang air itu memang mirip dengan Wayag di Raja Ampat.


Tak hanya spot itu saja, traveler juga bisa berfoto di sepanjang jalan waduk yang panjangnya kurang lebih 100 meter. Jalan berbatas pagar ini, menyerupai lorong panjang tak terbatas. Sementara di ujung lorong, terlihat tebing batu besar. 


Waduk Bajulmati memang saat ini menjadi primadona bagi wisatawan domestik. Selanjutnya, akan ada pengembangan pariwisata dan konservasi air serta perikanan tebar di kawasan tersebut. 

Potretan saat di atas bagian samping

Untuk masuk di kawasan Waduk Bajulmati, traveler harus membelah hutan Baluran. Lokasi waduk berada di perbatasan antaran Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo. Tak ada tiket masuk di waduk ini, namun pengunjung membayar parkir Rp 5 ribu.

Waduk Bajulmati merupakan bendungan dengan tipe center core rock fill dam, dengan kapasitas total waduk 10 juta m3, luas genangan waduk 91,93 ha dan volume efektif sebesar 7,4 juta m3. Pembangunan waduk ini menelan biaya sebesar Rp 420 miliar.

Potretan saat dibawah

Manfaat pembangunan Waduk Bajulmati adalah penyediaan air irigasi untuk menunjang intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian seluas 1.800 ha. 1.400 ha ada di Kabupaten Banyuwangi dan 400 ha di Kabupaten Situbondo.

Waduk ini juga menyediakan air baku untuk air bersih sebesar 110 liter/detik yang terdiri dari kebutuhan air bersih sebesar 50 liter/detik untuk 18 ribu KK, penyediaan air baku sebesar 60 liter/detik untuk pelabuhan dan industri potensi pembangkit mikrohidro 340 kW.

Wednesday, 19 April 2017

Jalan Raya Pos Anyer - Banyuwangi

Gambar Peta Jalan Raya POS Anyer - Banyuwangi


Pada awalnya, Jalan raya POS Daendels bermula dari Anyer dan berakhir di Panarukan (Jawa Timur), namun kemudian diperpanjang hingga ke Banyuwangi. Pada Tahun 1811 pembangunan jalan Tahap Ke dua ini sampai ke banyuwangi.Titik akhir jalan di Ujung Timur sebenarnya bukan Panarukan,tapi berujung di banyuwangi di sekitar daerah Kali tikus [ Bajulmati ] dan tidak dibangun hingga kota Banyuwangi.Tidak diteruskan jalan itu,Karena sifat orang Blambangan yang masih terus memberontak seperti terjadi di Bondowoso dan Pasuruan.
Dikutip dari Buku Dephub Ditjen Pos dan Telekomunikasi,1980, Di Asembagus terdapat stasiun pos terakhir.Dari sini terdapat jalan orang selebar 2 meter menyusur hutan lebat sejajar Selat Bali hingga di kali Tikus [sekitar Bajulmati] Banyuwangi.Rute jalan raya pos yang panjangnya 700 mile dari Batavia ke Kalitikus Banyuwangi ini dibangun Atas perintah Gubernur Jenderal Daendels dibuatlah Jalan Raya Pos (jalan kerikil) pada tahun 1809 yang dapat diselesaikan selama satu tahun.
Jalan ini terbentang sepanjang pantai Utara Jawa dari barat sampai ke Timur yang dapat dilalui oleh cikarpos dan cikar-cikar besar yang beroda tinggi. Di sepanjang jalan ini didirikan secara teratur stasion-stasion dan kandang kuda pada jarak-jarak tertentu dan dipelihara baik-baik oleh pemerintah, telah menelan korban manusia yang tidak sedikit.
Di Keresidenan Besuki jalan pos bermula dari stasion Banyunget menjurus dari barat ke timur Panarukan terus ke Asembagus dimana Jalan Raya Pos berakhir berakhir dengan stasion pos yang terakhir, karena dari jalan desa Sumberwaru yang menuju timur merupakan jalan yang sempit yang tak mungkin dilalui kendaraan.
Dari stasion ke arah tenggara, selanjutnya terdapat jalan orang selebar dua meter yang licin menuju hutan lebat. Jalan ini menuju ke pantai timur Jawa dan terus menyusur sejajar dengan Selat Bali hingga Kali Tikus,Banyuwangi. Di daerah ini tidak terdapat stasion pos.
Setelah Akhir Masa Gubenur Daendels Tahun 1811. Di lanjutkan oleh Pemerintahan Inggris & Belanda Hingga sampai Banyuwangi dan Sekitar Tahun 1887 Titik Ujung Jalan raya Pos hingga Ke Rogojampi di sekitar Kantor Pos.

Sejarah Singkat Musik Kendang Kempul Banyuwangi

Kendang Kempul jaman dulu

Sebenarnya yang mengawali Orkes dangdut berbahasa Using yaitu Fatrah Abal atau Faturahman Abu Ali [ almarhum ] yang menciptakan Lagu Gelang Alit.Setelah itu sekitar tahun 1970an banyak bermunculan Orkes Dangdut,Ketika itu Namanya Orkes Melayu (OM). OM Mutiara (Kalibaru), OM Pengabdian (Banyuwangi) , OM Tawang Alun (Rogojampi), OM Blambangan (Genteng) dan lain lain.Sebelumnya,Lagu Banyuwangi sering di iringi dengan Gandrung,Angklung kadang Keroncong,Ketika itu ada Group Kroncong Mawar Merah yang Paling terkenal.Setelah itu tenggelam karena ada yang menghubungkan dengan Partai Politik Terlarang.
Awal Tahun 1970an,Semua lagu lagu banyuwangi yang akan Rekaman Harus di sensor dulu oleh Bagian Kesra Pemkab Banyuwangi.Ketika itu dijabat oleh Pak Hasan Ali (Bapak Emilia Contessa),Tidak semua Lagu bisa masuk rekaman Karena ada pertimbangan Mutu dan isi.Selain itu ada yang Mensensor secara Politik yaitu Pasi Intel Kodim Banyuwangi,Terutama lagu lagu Ciptaan orang orang yang terlibat di underbow PKI.Waktu itu Pak Hasan Ali Sering Berdebat dengan Orang Kodim,Sebab penciptanya di anggap Orang LEKRA.Tapi Pak Hasan ali yakin isinya tidak ada kaitan dengan Politik.Akhirnya bisa ikut Rekaman dengan Jaminan Pak Hasan Ali Almarhum.Kalau Secara Kwalitas Pasti lebih berbobot lagu lagu yang penciptanya orang orang yang di Cap Bekas LEKRA tadi.Seperti M Arif, BS Noerdian, Indro Wilis, Andang CY dll.
Setelah itu lagu lagu Banyuwangi mulai di tinggalkan,Kemudian Muncul antara awal tahun Akhir 1979 sampai awal 1980an. Kendang Kempul yang di pelopori OM ARBAS (Arek Banyuwangi Selatan) dari Genteng, pimpinan Bung Sutrisno.Artis yang terkenal kala itu Sumiyati dan Alif.s.Lagu lagunya Enak di dengar tidak seperti lagu lagu lama yang kental dengan nilai sastranya. Perubahan yang dilakukan ARBAS ini,Masuknya Kendang (Lanang) dan Kempul (Kenung dua) dan Klucing (triangle).Ketiga Tabuhan tersebut memang menjadi inti pengiring di kesenian Gandrung,Orang yang biasa memainkan Kluncing dan kempul Harus Mengerti Masuknya Kendang tadi. Gending-gending yang terkenal antara lain “Isun Lamaran” (Sumiyati), Ketemu Maning (Alif S) yang dibuka dengan Ucapan “Assalamu’alaikum ……”.
Ketika itu banyak bermunculan Kelompok kelompok Musik yang sedikit Banyak ‘terispirasi’ dengan Kendang Kempulnya Arbas itu. Yuliatin membawakan dengan Angklung Kayu (Gambang), kendangnya kadang agak Njawa-Barati (Jaipongan). Terus Mbok Koesniah dengan Angklung Modern, meskipun tidak seperti Arbas. Rekamanya Permata Record. Kalau tidak salah.lagu Mbok Koesniah yang terkenal “Isuk-isuk wis wayahe/ Embah nginang seru enake…..” Setelah itu, gending Banyuwangi agak sepi. Lalu Keluar rekaman di jamanya Bupati Samsul Hadi, musiknya sudah campur dengan Kuntulan. Lagunya Umbul-Umbul Blambangan. Sebelumnya Mbok Emelia juga rekaman, “Tanah kelahiran. Semua itu Masih berbentuk Pita kasset.
Nah perkembangan agak revolosioner setelah Keluar kelompok POB golongan Catur Arum, ini memang beda dengan musik sebelumnya. Garapan syair lagu lagunya agak sastrawi, Apalagi musiknya bisa mengabungakan antara diatonic dan pentatonic. Sebelumnya musik-musik Banyuwangi kebanyakan mengunakan nada pentatonic. Nah, semangat wilayah antara tahun 1990-an ini mulai muncul lagi. Kalau Catur dengan POB nya mewakili wilayah Banyuwangi Kota, Kemudian muncul Rollas (Rogojampi), Omprock (Temeguruh) dan Kemudian kelompok anak anak Jajag yang mewakili daerah Banyuwangi Selatan, Sebelumnya diwakili OM Blambangan dan Arbas Group (Genteng). Group-group baru yang disebut iku tadi, insyaalloh isi lagunya bisa diandalkan. Kecuali group anak Jajag yang dahulu pernah mendapat protes dan dicekal oleh KPID Jatim lagunya yang berjudul Roti Sigar Tengah dan Pecah Duren. 

Sumber tulisan@ Hasan Sentot translate dari basa Using

Asal Usul Desa Cungking Banyuwangi

Gambaran Tradisi Panjer


Tradisi panjer kiling tidak bisa dilepaskan dari sejarah Blambangan yaitu orang yang bernama Wongso Karyo. Menurut cerita Blambangan, Wongso Karyo adalah orang Cina yang tidak diketahui nama sebenamya. Menurut Babad Blambangan, Wongso Karyo datang dari Jung. Jung bukan nama tempat akan tetapi nama sebuah kapal Cina yang dibakar oleh kompeni (VOC). Orang-orang yang berada di kapal kemudian turun untuk menyelamatkan diri. Mereka minta perlindungan kepada orang Blambangan. Melihat kondisi yang demikian orang-orang yang melarikan diri tersebut kemudian dilindungi oleh tokoh Blambangan. Orang tersebut dipekerjakan oleh tokoh Blambangan. Wongso Karyo sangat rajin dan suka bekerja keras. Penampilan bagian rambut Wongso Karyo ada kuncung wingking (dikuncung di belakang) sehingga. disebut buyut Cungking.
Wongso Karyo atau buyut Cungking dipekerjakan di sawah yang luas. Orang Cina yang turun dari Jung dan selanjutnya dikenal dengan sebutan Wongso Karyo ini dipekerjakan di sawah seorang diri. Karena berbekal teknologi atau budaya yang sudah maju, maka Wongso Karyo menggunakan orang-orangan yang terbuat dari bambu dan diberi kain berwarna putih sehingga seperti kho ping ho (baju putih). Orang-orangan ini digunakan untuk menakut-nakuti burung di sawah.
Diceritakan dalam babad Blambangan bahwa Wongso Kaiyo bisa melecut (menghilang) di satu tempat dan muncul di tempat lain. Sebenamya bukan Wongso Kaiyo yang bisa melecut (menghilang) akan tetapi Wongso Karyo telah menerapkan teknologi modem untuk menjaga tanaman padi di sawah agar tidak dimakan burung. Jadi orang-orangan yang memakai baju putih dan diletakkan di beberapa tempat oleh Wongso Karyo dikira adalah Wongso Karyo yang bisa berpindah-pindah tempat. Dengan pemasangan orang-orangan di beberapa tempat inilah, burung pipit yang biasanya suka memakan padi menjadi takut dan hasil produksi padi mejadi berlimpah.
Selain membuat orang-orangan, Wongso Kaiyo juga membuat Kailing. Kata Kai-ling berasal dari bahasa Cina yang terdiri dari kata Kai = berputar dan ling = kayu. Jadi kailing berarti kayu yang berputar, selanjutnya dikenal dengan sebutan kiling. Kiling ini dibuat Wongso Karyo dengan tujuan meningkatkan produksi padi. Hal ini disebabkan kiling tersebut bila tertiup angin akan menghasilkan suara yang keras sehingga burung-burung pemakan padi di sawah menjadi takut.
Melihat produksi padi yang berlimpah, Prabu Tawangalun yang berkuasa di Blambangan pada saat itu merasa heran. Prabu Tawangalun kemudian mencari tahu penyebab produksi di Blambangan melimpah. Setelah mengetahui bahwa. produksi padi yang melimpah itu karena orang yang bernama Wongso Karyo, akhimya dipanggillah Wongso Karyo dan selanjutnya dijadikan sebagai agul-agulnya Kerajaan Tawangalun.
Ketika Kerajaan Mataram mengharapkan kehadiran Kerajaan Blambangan untuk dijadikan Kerajaan Pasa, yang diutus atau yang didatangkan adalah Wongso Karyo, Sesampainya Wongso Karyo di Kerajaan Mataram ditantang oleh Kadilangu yaitu tokoh dari Mataram dan selanjutnya diajak adu kekuatan. Jurus yang dipakai oleh Kadilangu (dari Mataram) adalah silat dan Wongso Karyo (dari Blambangan) memakai kungfu. Dalam sejarah yang sudah menjadi legenda disebutkan bahwa Kadilangu kalah oleh Wongso Kaiyo. Setelah memenangkan pertandingan adu kekuatan tersebut, Wongso Kaiyo kembali ke Tawangalun dan kemudian diberi tanah perdikan seluas Desa Cungking sampai ia meninggal dunia dan dimakamkan di Desa Cungking. Sampai sekarang makam itu tetap dipelihara oleh keturunannya. Orang Using merupakan turunan dari buyut Cungking atau Wongso Karyo.


Sumber : Buku Koleksi BTD ~PANJER KILING: TRADISI MASYARAKAT USING BANYUWANGI ~ Ernawati Purwaningsih.

Pohon Upas (Antiaris toxicaria)


Pohon Upas


Pohon upas (Antiaris toxicaria) pohon yang memiliki getah yang sangat beracun, yang kadang disebut ipoh/ipuh, anchar, atau tengis/ingas, adalah pohon besar dengan ketinggian bisa mencapai 40 m serta kayunya putih dan ringan. Dahan-dahannya tumbuh horizontal dan tak beraturan. Pohon ini tumbuh di tanah subur, di dataran rendah dan hanya ditemukan hutan-hutan lebat.


Sama seperti kayunya, warna getah upas adalah putih susu, namun lebih kental dan lengket dari susu. Cairan atau getah yang keluar dari batang (cortex) akan mengalir deras sehingga dapat terkumpul dengan cepat dalam satu cangkir. Pada pohon dewasa, torehan pada kulit kayu ini menghasilkan cairan kekuningan dan agak berbuih, sementara pada pohon muda warnanya lebih putih; baik dari pohon dewasa atau pohon muda getahnya akan bewarna kecoklatan di udara terbuka. Jika cairan ini mengenai kulit kita maka akan terasa perih dan terbakar. Karena getah kulit pohonnya mengandung racun, maka orang menamakan racunnya sebagai upas.

Rumphius, ahli botani kelahiran Jerman dan bekerja untuk VOC Belanda yang pernah melakukan penelitian ilmiah di Ambon, menulis bahwa penduduk Makassar tahun 1650 menggunakan panah beracun saat penyerangan terhadap Ambon. Panah beracun ini pula yang digunakan rakyat Celebes (Sulawesi) saat perang melawan VOC Belanda. Ahli botani ini menulis bahwa racun yang masuk pembuluh darah terbawa ke seluruh tubuh dan terasa di otot, menimbulkan rasa terbakar, terutama di kepala, lalu korban pingsan dan mati. Menurutnya, racun ini memiliki derajat mematikan berbeda, tergantung lama dan cara pengawetan racun. Dan racun yang paling mematikan adalah “upas raja”, dan efeknya tak terobati lagi.

Akibat racun upas sangat dahsyat. Jika upas menyerang perut, saluran pernafasan, dan sirkulasi tubuh, maka chetik menyerang otak dan saraf. Gejala umum bila seseorang terkena racun ini adalah: tubuh kejang-kejang, gelisah, bulu roma berdiri, memuntahkan isi perut, lemas, sawan, nafas memberat, air liur keluar, otot perut kejang-kejang, muntah berat, muntah air, lalu kejang hebat, dan mati.

Jika racun ini diterapkan pada sejumlah binatang, maka lamanya reaksi berbeda-beda. Anjing, langsung mati.